Notification

×

Iklan

Iklan

Lumpuhnya Demokrasi Warga Negara di Wacana Amandemen ke-5

Sabtu, 29 Juni 2024 | 20:22 WIB Last Updated 2024-06-29T13:22:39Z

PASUNDAN POST | SUKABUMI — Bergulir nya wacana amandemen konstitusi yang kelima menimbulkan pro-kontra dikalangan politikus bahkan pada masyarakat, terkhusus wacana yang akan mengembalikan kewenangan MPR untuk memilih presiden. Bentuk respon masyarakat ini merupakan bentuk kepedulian terhadap pengelolaan suatu negara. Menjadikan negara tidak terpusat dan memastikan demokrasi masih tetap hidup.

Saya pernah belajar konstitusi pada mata kuliah hukum tata negara yang mana didalamnya saya belajar bahwa suatu negara dibentuk atas dasar kesepakatan masyarakat (contract social). Indonesia dengan banyak keberagaman, dengan banyak budaya dan juga suku berjanji untuk membentuk sebuah negara yang disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Yang mana ini di deklarasikan oleh bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1945.

Perjanjian masyarakat ini menjadi bukti bahwa suatu negara itu tidak mungkin ada kalo tidak ada warga negaranya, dan menjadikan masyarakat memiliki peran dalam sebuah negara. Doktrin kedaulatan rakyat menghendaki bahwasanya kekuasaan tertinggi dalam suatu negara itu berada pada rakyat. Rakyat mempunyai kewenangan untuk berkontribusi dalam menentukan arah suatu negara, dan dalam negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum negara wajib untuk menjamin hak-hak tersebut, itu merupakan konsekuensi logis dari sebuah negara hukum.
Dalam iklim demokrasi hak untuk dipilih dan memilih itu menjadi hak yang pasti. Meski demikian, dalam demokrasi modern rakyat mengdelegasikan sebagian kekuasaan mereka kepada wakil-wakil yang mereka pilih, seperti dalam sistem representatif atau demokrasi perwakilan. Delegasi ini terjadi melalui proses pemilihan umum di mana rakyat memilih wakil-wakil mereka untuk duduk di lembaga legislatif atau eksekutif, yang bertanggung jawab untuk mengambil keputusan atas nama rakyat.

Namun demikian tidak serta merta hak politik masyarakat bisa didelegasikan kepada suatu lembaga, karena hak untuk dipilih dan memilih seorang pemimpin adalah hak fundamental dalam sistem demokrasi di mana setiap warga negara memiliki hak untuk ikut serta dalam proses politik dengan memilih dan dipilih. Hak ini menjadi fondasi bagi sistem politik demokratis dan merupakan salah satu cara utama di mana rakyat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan politik negara.

Tindakan mengembalikan kewenangan MPR untuk memilih presiden merupakan tindakan yang konservatif, karena dengan alasan untuk menghindari money politic artinya pemerintah tidak punya inovasi ataupun solusi atas permasalahan tersebut, saya kira tidak boleh sesempit itu cara berpikir seorang negarawan.

Dengan dikembalikannya presiden dipilih oleh MPR otomatis itu menghilangkan hak warga negara dalam kehidupan politik, sebagian hak sudah di delegasikan kepada DPR, kemudian hak untuk menentukan pemimpin dihilangkan juga. Apakah nantinya rakyat bisa menuntut ke MPR ujung-ujungnya rakyat hanya menjadi penonton di negeri sendiri.
Kewenangan MPR untuk memilih presiden menjadikan kehidupan politik menjadi terpusat, lalu kemudian menimbulkan dominasi politik di parlemen karena anggota MPR itu di isi oleh anggota DPR dan DPD yang mana ini kader-kader partai, nantinya presiden dipilih oleh kesepakatan-kesepakatan partai-partai politik yang mendominasi bukan atas kepentingan nasional secara luas. Dan ini menghasilkan legitimasi yang kuat di parlemen bagi seorang presiden nantinya karena mendapatkan dukungan penuh dari partai-partai politik.

Secara historis ketatanegaraan apabila MPR kembali memiliki kewenangan untuk memilih presiden ini menjadikan lembaga tersebut paling dominan, kembali menjadi lembaga tertinggi negara artinya tidak ada kesetaraan dengan lembaga tinggi lainnya. Ini kemudian memberikan dampak signifikan terhadap dinamika politik dan stabilitas pemerintahan. DPR sebagai lembaga yang mengawasi pemerintahan bisa terganggu kinerjanya karena pengawasan ini juga dapat dipengaruhi oleh dinamika politik di MPR.
Alangkah baiknya pemerintah fokus pada perbaikan sistem kepemiluan yang sudah berjalan, presiden dipilih MPR tidak bisa menjadi solusi atas politik uang. Presidential Threshold masih menjadi bargain politik yang masif dalam mengusung calon presiden, ini kemudian yang bisa menjadi awal dari politik uang karena daya jual yang mahal.

Terakhir saya mau mengutip ungkapan seorang reformis sosial perempuan asal Amerika Susan B. Anthony dia mengatakan bahwa "Hak pilih adalah hak yang sangat penting.” saya kira ini bisa menjadi teladan bahwa hak untuk memilih itu hak fundamental untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.

Penulis : Abdul Majid, 
ketua ideas muda                       
Sukabumi
×
Berita Terbaru Update