PASUNDAN POST | SUKABUMI — Pembangunan Perumahan Bumi Mutiara Indah (BMI) tahap 2 yang digarap PT Dasra Bangun Abadi di kawasan Parungkuda tengah menjadi sorotan publik. Dugaan pelanggaran dalam proses pembangunan proyek tersebut kian mencuat dan memantik perhatian berbagai pihak, mulai dari legislatif hingga lembaga advokasi hukum.
Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Sukabumi, Hamzah Gurnita, SH, secara tegas menyoroti indikasi ketidaksesuaian proyek dengan aturan tata ruang dan regulasi perizinan yang berlaku. Menurutnya, persoalan ini tidak bisa dianggap sebagai isu biasa semata.
“Kasus pembangunan BMI-6 tahap 2 ini menyangkut integritas tata kelola pemerintahan, mulai dari DPTR, DPMPTSP, hingga DLH. Jika dugaan pelanggaran ini dibiarkan, maka akan mencederai prinsip negara hukum dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah,” ujar Hamzah, Sabtu (13/12/2025).
Ia menegaskan, DPRD Kabupaten Sukabumi, khususnya Komisi II, tidak akan tinggal diam. Hamzah juga mendorong agar Bupati Sukabumi turun tangan langsung untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek tersebut. Apabila terbukti terdapat pelanggaran administratif, tata ruang, maupun lingkungan, ia mendesak agar sanksi tegas dijatuhkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Prioritas kami adalah memastikan birokrasi berjalan taat aturan, lingkungan hidup terlindungi, serta hak-hak masyarakat tidak dikorbankan oleh kepentingan investasi yang mengabaikan hukum,” tegasnya.
Sorotan serupa datang dari Ketua Lembaga Advokasi Tata Sistem (LATAS), Feri Permana. Ia menilai bahwa persoalan pembangunan perumahan BMI-6 tahap 2 telah memasuki ranah kepatuhan hukum yang serius. Menurutnya, setiap kegiatan pembangunan perumahan wajib tunduk pada regulasi penataan ruang, perizinan, serta perlindungan lingkungan hidup.
Feri mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang secara tegas mewajibkan kesesuaian pemanfaatan ruang dengan RTRW. Selain itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman mengatur kepastian status lahan, kesesuaian peruntukan ruang, serta pemenuhan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
Terkait perizinan berusaha berbasis risiko, ia menekankan bahwa pengembang wajib mengantongi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) serta perizinan lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 5 Tahun 2021. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan tersebut, kata Feri, dapat berujung pada sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha.
Ia juga menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya terkait kewajiban penyusunan dokumen AMDAL atau UKL-UPL. Pembangunan tanpa dokumen lingkungan yang sah berpotensi dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Lebih lanjut, Feri menilai kasus PT Dasra Bangun Abadi dapat menjadi tolok ukur keseriusan birokrasi daerah dalam menegakkan supremasi hukum. Ia mengapresiasi langkah Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Sukabumi yang menjalankan fungsi pengawasan serta mendorong kepala daerah untuk bersikap tegas.
“Jika hasil evaluasi menemukan adanya pelanggaran, pemerintah daerah wajib menjatuhkan sanksi tegas, mulai dari teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan, hingga pencabutan izin usaha. Pembangunan tidak boleh berdiri di atas pelanggaran hukum,” pungkasnya. *(Red).


