PASUNDAN POST ■ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tengah menjadi salah satu sorotan publik yang menuai banyak protes dari berbagai pihak.
Pasalnya, pemerintah bersama Komisi II DPR RI dan Komisi Pemilihan Umum memutuskan untuk tetap menyelenggarakan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 nanti setelah beberapa kali mengalami penundaan, meskipun pandemik Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan pelandaian. Hal ini menjadi Sorotan dalam Seminar Online dalam rangka HUT DPD RI ke -16 dan KAHMI ke - 54.
Momentum HUT DPD-RI dan KAHMI salah satunya dilaksanakan dalam bentuk mengadakan Webinar bersama dengan tema "Jalan Selamat Pilkada Serentak Dimasa Pandemik Covid-19" yang diikuti oleh ratusan audience dari suluruh Indonesia melalui aplikasi Zoom Meeting pada rabu malam 7 Oktober 2020.
Seminar online menghadirkan Ketua DPD RI, La Nyalla Mahmud Mattalitti sebagai keynote speaker dengan narasumber menghadirkan Ketua Komite 1 DPD-RI, Prof. Dr. Siti Zuhro, MA (Presidium MN KAHMI), Zulfikar Arse Sadikin (Komisi II DPR RI), Dr.TB. Massa Djafar, M.Si (Ketua Program Doktor Ilmu Politik UNAS), Dipandu oleh Moderator Manimbang Kahariady (Sekretaris Jenderal MN KAHMI) Seminar berjalan menarik secara daring.
Fachrul Razi mengatakan, pelaksanaan Pilkada ditengah pandemik mencoreng nilai-nilai dan substansi demokrasi dan cukup mengkhawatirkan ditengah masyarakat yang was - was terinfeksi Covid-19 serta jumlah korban pandemik covid yang semakin meningkat tajam.
Fachrul Razi Ketua Komite 1 DPD-RI dalam paparannya mengatakan, bahwasanya saat ini Komite 1 DPD-RI tetap menghargai langkah Pemerintah dan KPU yang tetap bersikeras melaksanakan tahapan Pilkada 2020 di tengah pandemik, namun sikap Komite 1 DPD-RI tetap belum berubah sejak awal yaitu tetap meminta pemerintah dapat mempertimbangkan pelaksanaan pilkada dan berharap dapat ditunda tahun 2021.
Fachrul yang merupakan Senator asal Daerah Pemilihan Aceh ini mengatakan, bahwa pelaksanaan pilkada ditengah pandemik adalah sebuah tindakan yang mengotori demokrasi, karena menurutnya keselamatan Rakyat Indonesia lebih penting dan harus menjadi prioritas dibandingkan proses perebutan kekuasaan di tengah pandemik.
"Demokrasi Indonesia sedang tidak baik baik saja dan Pilkada di era pandemik merupakan sejarah pilkada yang menggeser kekuatan politik rakyat menjadi demokrasi elit, kita benar benar dihadapkan pada pandemik dalam demokrasi, dimana praktek money politik, dinasti politik, calon tunggal dan ketidaknetralan ASN merupakan virus yang membunuh demokrasi,” tegas Fachrul Razi.
Dirinya mengingatkan demokrasi harus membawa kedaulatan bagi sipil, bukan melanggengkan kekuasaan politik elit. Demokrasi yang dipraktekkan secara oligarki akan menggiring Indonesia menuju the failed of state atau the lost of State, rakyat kehilangan kedaulatannya.
"Saya menyatakan bahwa dua hal yang terjadi saat ini di Indonesia adalah yang pertama pandemik covid-19 dan yang kedua pandemik dalam demokrasi yang mengorbankan rakyat demi kekuasaan.” ujar Fachrul.
Fachrul Razi juga menambahkan bahwa sejarah akan mencatat pelaksanaan pilkada kali ini adalah yang terburuk, karena dilakukan ditengah wabah pandemik Covid-19, namun para penguasa malah mengangkangi hak demokrasi rakyat yang menjadi sebuah "Pandemik dalam Demokrasi" yang sangat tidak menguntungkan rakyat Indonesia baik secara politik maupun keselamatan.
"Suara Komite 1 DPD-RI tetap sejalan dengan suara dan aspirasi publik diluar sana, yaitu menolak pelaksanaan pilkada di tengah pandemik Covid-19, selama 3 bulan terakhir kami intens mengikuti suara publik dan memperjuangkannya seperti melakukan pertemuan dengan KPU dan meminta KPU untuk menunda Pilkada, bahkan DPD-RI sudah mengatakan kepada Presiden untuk mendengarkan aspirasi rakyat di daerah yang meminta Pilkada ditunda,” tambah Fachrul.
Diakhir pemaparannya selaku narasumber Fachrul Razi juga mengatakan, jika Pilkada 2020 tetap berjalan maka seluruh anak bangsa baik DPD-RI, KAHMI dan elemen lainnya harus secara bersama-sama mengawasi jalannya proses tersebut karena hal ini begitu penting karena sedikit saja terdapat pelanggaran baik dari segi protokol kesehatan dan pelanggaran aturan kampanye maka pada ujungnya rakyalah yang akan merasakan dampaknya.
"Banyak fakta yang kita lihat selama ini mengapa pilkada harus ditunda dan diawasi secara bersama-sama terkait persoalan tahapan kampanye yang berpotensi melanggar ketentuan protokol kesehatan, dan juga persoalan netralitas ASN di daerah karena di beberapa daerah yang akan melaksanakan tahapan Pilkada 2020 dengan mayoritas memunculkan kandidat yang berasal dari petahana dan dinasti politik petahana,” tutup Fachrul Razi yang juga kader HMI asal UI Depok dan kader HMI Aceh. (MI/JBN)